Edhi Sunarso (l. 1932, Salatiga; m. 2016, Yogyakarta)

Untitled (Self Portrait) (Tanpa Judul, potret diri)

Semen
20 x 35 x 68 cm
Koleksi Galeri Nasional Indonesia


Selain batu, semen adalah bahan yang umum digunakan Edhi dan pematung seangkatannya untuk jadi bahan dasar patung sebelum dicetak dengan bahan-bahan tahan lama lainnya atau sekadar untuk jelahah kemungkinan bentuk.

Bisa jadi, karya ini adalah salah satu studinya, sehingga tak ada indikasi tahun pada patung ini. Dari lekak-lekuk wajah dan bentuk wajah keseluruhan, dugaan terkuat masa pembuatan patung ini adalah saat Edhi baru saja kembali dari pendidikan lanjutannya di Santiniketan, India, pada 1957. Di sana, ia belajar dengan bimbingan Ramkinkar Baij, seorang perupa yang dikenal mengadaptasi teknik patung klasik India menggunakan materi plaster semen dan tanah liat. Karyanya khas akan bentuk figuratif, yang menegaskan kedekatan perupa atas subjeknya dan bukan menjadi representasi realistik —atau semata menyalin— dari apa yang tampak.

Berbekal langkah kerja Ramkinkar, Edhi kemudian menggunakan wajahnya sendiri sebagai cara menampilkan ekspresi yang paling akrab dengannya dalam bentuk patung. Sebagian besar ekspresi wajah pada karya monumen Edhi yang dipesan oleh presiden Sukarno pun mengacu pada wajahnya sendiri. Hal ini juga menjadi caranya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok yang ia bela, bukan wakili, apalagi menjadi subjek yang abstrak.

 

Tentang Seniman

Edhi Sunarso abadi melalui mahakaryanya yang kini menjadi bagian yang khas dari lanskap kota Jakarta: Monumen Selamat Datang (1962) di Bundaran HI, Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) di Lapangan Banteng, dan Monumen Dirgantara (1966) di Pancoran. Ketigannya dipesan Presiden Sukarno setelah Edhi mendalami seni patung di Kala Bhavana, Visva-Bharati University, Santiniketan, pada 1957. Di luar kiprahnya membuat monumen dan diorama untuk museum, alumni ASRI dan mantan pegiat Pelukis Rakyat ini juga aktif sebagai pengajar.

Informasi selengkapnya tentang: