Koleksi Kita Sudah Daring. Apa Selanjutnya?

6 November 2020 
13:00 — 14:30  WIB (diskusi panel)
Moderator: Annissa M. Gultom
Pembicara: Franziska Mucha, James Taylor, Medhavi Gandhi,
Hilman Handoni

Bahasa: Bahasa Inggris dengan translasi langsung ke bahasa Indonesia

  ↩ see full ​Program

Menjadikan koleksi budaya dapat diakses secara daring bukanlah tujuan akhir dari GLAM Terbuka, melainkan sebuah langkah awal. Data budaya terbuka adalah salah satu alat untuk membantu institusi GLAM memenuhi misi mereka, menjangkau audiens baru, mendukung kegiatan penelitian, dan memperkaya budaya bersama. Lantas, apa jadinya setelah koleksi GLAM sudah dalam format daring? Bagaimana kita dapat menggunakan data budaya terbuka untuk membuat koneksi dan menginspirasi audiens kita? Berkaca dari pengalaman berbagai institusi warisan budaya di Eropa dan Asia, sesi ini akan mengeksplorasi strategi untuk terhubung dengan khalayak menggunakan sarana digital dan tantangannya.
 
Youtube
 
Annissa M. Gultom telah bekerja di pengembangan data dan konten budaya sejak menjadi mahasiswi Arkeologi (2000-20005). Setelah lulus, pekerjaan kurasi pertamanya bertempat di museum yang sama ia mengkurasi pameran termutakhirnya di Indonesia: Museum Sejarah Jakarta. Kurasi yang dilakukan di 2006 adalah untuk pameran temporer, sementara di 2017 untuk pameran permanen. Sejak 2012 ia telah terlibat dengan banyak projek museum contohnya Museum Kain, Bali (2012-2015), sebuah inisiatif swasta membentuk ruang pamer digital. Di pertengahan 2018 ia pindah ke UAE untuk bekerja dalam projek museum di kawasan MENA (Middle East & North Africa) dan kini adalah Direktur untuk Museum Nasional Ras Al Khaimah.  

Franziska Mucha belajar kajian budaya di Jerman dan Norwegia dan telah bekerja di berbagai institusi budaya di persimpangan antara seni, budaya dan teknologi (misalnya Trondheim Electronic Arts Center, Ars Electronica Festival). Antara tahun 2013 dan 2018 ia mengembangkan proyek museum partisipatif dan digital sebagai asisten kuratorial dan kurator di Museum Sejarah Frankfurt. Sejak Oktober 2018, ia telah menjadi kandidat PhD di University of Glasgow dalam bidang Kajian Informasi dan meneliti tentang "Crowds, Communities and Co-Creativity" yang merupakan bagian dari jaringan penelitian yang didanai POEM (Participatory Memory Practices) Uni Eropa.

James Taylor adalah Manajer Informasi Koleksi dan Kemitraan Daring di Tāmaki Paenga Hira Auckland War Memorial Museum. Dia mengelola koleksi daring museum, yang memungkinkan penggunaan kembali koleksi berlisensi terbuka museum. Ia bertanggung jawab atas kemitraan pengumpulan, yang berbagi data dan citra dengan lebih dari 20 agregator, portal penelitian, dan situs web, termasuk Digital NZ, GBIF, Wikimedia, Flickr, dan Google Seni dan Budaya. Dia telah bekerja di sektor warisan selama lebih dari satu dekade dan sebelum bergabung dengan museum tahun lalu, ia bekerja di Ngā Taonga Sound and Vision dalam berbagai peran akses dan keterlibatan publik, juga sebagai sejarawan publik.

Medhavi Gandhi adalah pendiri The Heritage Lab dan telah bekerja di persimpangan antara keterlibatan publik dengan warisan budaya, pengembangan sosial, dan pendidikan sejak tahun 2009. Ia telah bekerja dengan berbagai organisasi di India serta di Australia, Amerika Serikat, dan Eropa. Medhavi merupakan pendukung kuat akses terbuka ke warisan budaya digital dan telah menjadi bagian dari kampanye global di India, termasuk MuseumWeek, dan menjadi duta Art+Feminism di Asia Selatan.

Hilman Handoni adalah lulusan Kajian Museum pada program pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Sejak 2015 bergabung dengan dapoerdongeng—rumah produksi yang telah menghasilkan program inovatif yang memakai pendekatan teater di museum: Akhir Pekan di Museum Nasional Indonesia bersama Teater Koma. Pengalaman sebagai jurnalis dan produser radio selama 13 tahun menjadi bekal buat memproduseri podcast Sains Sekitar Kita, Kata Benda, dan Tergantung Pada Kata. Di saat senggang, ia senantiasa mendisiplinkan diri untuk mengisengi kedua anjingnya, Ciput dan Gongxi.