Gregorius Sidharta Soegijo (l. 1932, Jogja; m. 2006, Surakarta)
Ibu dan Anak, 1963
Cat minyak di atas kanvas59 x 74 cm
Koleksi Galeri Nasional Indonesia
Lukisan Ibu dan Anak (1963) dibuat oleh Gregorius Sidharta Soegijo setahun sebelum ia diberhentikan sebagai pengajar ASRI dengan alasan ijazahnya dari Jan van Eyck belum bisa diakui oleh pemerintah Indonesia. Sekarang, dengan mudah kita bisa menunjuk keterlibatan Sidharta dalam penandatanganan Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebagai alasan pemecatan tersebut. Dengan banyaknya pengajar ASRI yang juga pendukung Lekra, posisi Sidharta menjadi rentan. Polemik yang sama turut melatari kritik yang umum dialamatkan terhadap karya lukis Sidharta pada masa itu. Ia dianggap terlalu kebarat-baratan dan dicap mengutamakan tampilan dibanding isi.
Sidharta sendiri memang tertarik dengan pengolahan bentuk. Sepulangnya dari studi di Belanda, ia banyak bereksperimen dengan penataan garis dan warna dalam perspektif bidang datar di karya lukisnya. Seiring berjalannya waktu, objek berangsur lenyap dari kanvasnya, digantikan oleh bentuk-bentuk geometris, sebagaimana tampak dalam karya Ibu dan Anak ini. Kanvasnya dominan dengan saling-silang garis serta permainan sudut dengan rentang warna yang minimalis.
Sidharta dibesarkan dalam keluarga Jawa beragama Katolik. Dua corak kehidupan itulah yang barangkali bisa disebut sebagai 'Timur' dan 'Barat'—yang kerap dipermasalahkan sebagai dua kutub yang beradu— sebagaimana perseteruan Manikebu dan Lekra, di mana Sidharta terjebak di antara keduanya. Padahal, dalam lingkungan keluarga besar Soegijo, kedua corak itu hidup berdampingan, dan kesenian mengalir secara alamiah bersama keduanya.
Tentang Seniman
Dikenal sebagai salah satu pembaharu seni patung di Indonesia, Sidharta adalah seniman serba bisa. Ia pernah mendalami seni lukis di Sanggar Pelukis Rakyat serta ikut mendirikan perkumpulan Pelukis Indonesia Muda. Sekembalinya dari studi di Jan Van Eyck Academia, Belanda, Sidharta mengajar di ITB. Karya-karyanya turut menjadi bagian dari budaya populer, dari patung di makam Bung Karno di di Blitar hingga Piala Citra untuk para pemenang Festival Film Indonesia.Informasi selengkapnya tentang: