Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Jelas-Jelas ... Terintegrasi: Kuliah dengan Latar Belakang Migrasi

Pupils sit at separate tables
Dengan atau tanpa latar belakang migrasi: Di Jerman, persentase pemegang ijazah Abitur hampir sama pada semua bagian masyarakat.
Seperti apa pengaruh latar belakang migrasi terhadap pendidikan dan peluang pendidikan di Jerman? Sineb El Masrar menulis tentang faktor-faktor yang memungkinkan siswa-siswi masuk ke perguruan tinggi.


Perjalanan dan riwayat pendidikan para mahasiswa dengan latar belakang migrasi di universitas-universitas Jerman merupakan rangkaian peristiwa dan situasi yang ditandai oleh penghinaan, diskriminasi, dan pengabaian. Di masa lalu, khususnya ketika rekrutmen buruh migran sedang ramai-ramainya di tahun 1960-an sampai 1990-an, tema ini tidak jarang dianggap sepele atau pun tidak ditanggapi secara serius karena alasan rasis. Ketika ada siswa atau siswi yang memerlukan perhatian khusus, beberapa guru memanfaatkan situasi itu sebagai dalih untuk menghalangi siswa-siswi bersangkutan untuk masuk perguruan tinggi. Ini satu sisi cerita.

Anak-anak mengalami perlakuan ini sejak tahun-tahun pertama di sekolah, dan banyak di antara mereka tidak mendapat kesempatan untuk sepenuhnya menggali potensi masing-masing. Ada yang berhenti sekolah sebelum waktunya dan akhirnya bekerja serabutan sebagai buruh kasar, menganggur untuk waktu lama, atau malah terjerumus ke dunia kejahatan terorganisasi. Ada yang bisa mengimbangi tahun-tahun sekolah yang sulit dengan mengambil kelas malam atau sejak masa sekolah sudah mendapat perhatian yang diperlukan. Ada juga yang mampu terus menambah pengetahuan semasa sekolah dan meraih ijazah yang dicita-citakan.

Dalam rangka mengevaluasi peluang pendidikan sering digunakan statistik yang biasanya diinterpretasi secara sepihak atau yang hanya memberi gambaran parsial. Data mengenai latar belakang migrasi siswa-siswi bersangkutan pun tidak memadai karena kurang lengkap.

Pengaruh Latar Belakang Migrasi

Kalau kita membandingkan kualifikasi lulus sekolah pada masyarakat berusia antara 18 dan 65 tahun dengan dan tanpa latar belakang migrasi, perbedaannya sering kali kecil saja. Hanya pada lulusan Realschule tercatat perbedaan signifikan sekitar 13 persen, dan persentase orang yang tidak tamat sekolah pun lebih tinggi 10 persen di kalangan orang berlatar belakang migrasi. Persentase untuk semua kualifikasi kelulusan lain saling berdekatan. Untuk ijazah Abitur, yang merupakan kualifikasi untuk masuk perguruan tinggi, angkanya sekitar 42 persen di kedua belah pihak.

Dewasa ini, mahasiswa pada universitas-universitas di Jerman merupakan campuran mahasiswa Jerman dengan atau tanpa latar belakang migrasi dan mahasiswa asing dengan bahasa ibu bukan bahasa Jerman, yang pada umumnya harus bersusah payah dahulu untuk belajar bahasa Jerman di negara asal masing-masing. Setelah tiba di Jerman, mereka sering kali harus mendalami lagi bahasa Jerman sebelum bisa memulai perkuliahan. 

Selain latar belakang migrasi, faktor yang menentukan untuk para mahasiswa yang besar di Jerman adalah kondisi keluarga dan seberapa penting pendidikan di mata orang tua mereka. Ini juga tercermin dari perbedaan berdasarkan gender. Anak perempuan pada umumnya lebih berprestasi di sekolah dibandingkan anak laki-laki, dan ini juga terkait dengan struktur keluarga yang dihadapi oleh anak perempuan, khususnya di keluarga yang konservatif.

Menimba Ilmu itu Kerja Keras

Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan belajar di rumah juga penting. Termasuk di sini kebiasaan tidur cepat, tersedianya makanan bergizi dalam jumlah memadai dan adanya ruang belajar atau pojok belajar yang tenang. Ada lulusan perguruan tinggi yang berasal dari lingkungan keluarga yang sangat miskin dan tidak berpendidikan. Mereka ini mendapati lingkungan belajar yang kondusif di rumah atau memperoleh dukungan yang diperlukan dari guru, tetangga, atau pihak lainnya.

Seperti umumnya, tidak ada satu sebab tunggal untuk keberhasilan atau kegagalan mengenyam pendidikan. Pendidikan tidak melibatkan para siswa dan siswi semata-mata, melainkan juga mencakup para guru, orang tua, serta sistem pendidikan, yang harus memberi bantuan ketika diperlukan. Semua faktor itu saling berinteraksi, dan interaksi tersebut masih saja terkendala. Meskipun demikian, gelombang imigrasi pertama ke Jerman pascaperang telah melahirkan begitu banyak orang yang berhasil menempuh pendidikan dan itu tercapai berkat sistem pendidikan yang solid, ketekunan, dan terkadang faktor kebetulan. Namun, sebagai sebuah masyarakat kita jangan mengandalkan hal terakhir itu. 

Interaksi di antara sistem pendidikan, keluarga, dan guru merupakan faktor yang sangat penting. Alih-alih selalu saling melempar tanggung jawab, ketiga belah pihak dituntut untuk terus berdialog dan memberi kontribusi yang diperlukan demi kepentingan pendidikan yang berkelanjutan. Menimba ilmu itu kerja keras dan bukan hanya untuk para siswa dan siswi.

 

“Jelas-Jelas ...”

Seri kolom “Jelas-Jelas ...” diisi secara bergantian setiap minggu oleh Sineb El Masrar, Susi Bumms, dan Maximilian Buddenbohm. El Masrar menulis tentang imigrasi dan masyarakat multibudaya di Jerman: Apa yang menarik perhatiannya, apa yang terasa asing, dan apa yang memberi pemahaman yang menarik?

Sineb El Masrar adalah jurnalis, publisis, dan penulis naskah drama Jerman-Maroko. Ia antara lain bekerja untuk media cetak, daring, dan TV. Ia telah menerbitkan sejumlah buku nonfiksi bertema rasisme, media, migrasi, Islam, ekstremisme dan feminisme.

Penerjemahan: Hendarto Setiadi
Teks: Goethe-Institut, Sineb El Masrar . Teks ini diberi lisensi berdasarkan ketentuan Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Germany License.
Creative Commons License
September 2022

Anda memiliki pertanyaan terkait artikel ini? Silakan hubungi kami!

Top