Pacita Abad (l. 1946, Batanes; m. 2004, Singapura)

Kumbakarna, 1986

Lukisan Trapunto (cat akrilik, sablon, kancing plastik, cermin,
wol, pita, dan benang di atas kanvas)
238 x 138 cm
Koleksi Galeri Nasional Indonesia
 

Sejak masa studinya di Amerika, Pacita sangat tertarik pada kebudayaan kesukuan. Bukan hal yang aneh karena Pacita sendiri lahir di pulau terpencil Batanes dan merupakan bagian dari suku Ivata, salah satu suku asli tertua di Filipina. Pacita juga menyadari bagaimana kebudayaan kesukuan yang berasal dari dunia non-barat dipandang rendah dan dikategorikan sebagai ‘seni primitif’.

Sesampainya di Indonesia pada 1983, Pacita segera jatuh cinta pada wayang, terutama yang bermuasal dari epos Ramayana. Figur yang ditampilkan Pacita dalam lukisan trapunto-nya ini adalah karakter bernama Kumbakarna, adik dari Rahwana, raksasa tokoh antagonis utama. Tidak seperti kakaknya, Kumbakarna berwatak jujur dan berjiwa ksatria. Sosok Kumbakarna mengisi ruang abu-abu di tengah-tengah perseteruan tokoh protagonis dan antagonis yang dualistis. Selain Kumbakarna, Pacita juga melukiskan banyak tokoh wayang lainnya, seperti Rama, Arjuna, dan Hanoman. Untuk membuat tokoh-tokoh wayang ini, Pacita menautkan berbagai macam material yang ia temukan dari pasar-pasar tradisional selama masa tinggalnya di Jawa, seperti kain batik dan tenun ikat.

Kendati demikian, Pacita tidak pernah terikat dengan kesejarahan ataupun nilai-nilai tradisi dari subject matter yang ia dapat dari tempat lain. Ia mengadaptasi bentuk-bentuk ekspresi tradisional dengan mendalami jiwanya dan menggubahnya dalam bentuk ekspresinya sendiri. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak tiba di Indonesia, Pacita menghasilkan sekitar 110 lukisan wayang, dan juga set peralatan makan dari porselen yang dilukis dengan tangan.

 

Tentang Seniman

Pacita Abad awalnya kuliah hukum untuk mengikuti jejak orang tuanya sebagai politisi. Saat menempuh studi di University of the Phillippines, ia terlibat dengan gerakan mahasiswa di Manila dan Batanes. Tegangan politik pada 1969 lantas mendorongnya untuk semakin menyeriusi studi hukum, namun di tengah proses ia banting setir menjadi seniman. Karya-karyanya khas dengan corak-corak dekoratif serupa anyaman yang disebut sebagai trapunto. Ia kerap menghadirkan berbagai budaya dan komunitas akar rumput sebagai subjek karyanya.

Informasi selengkapnya tentang: