Social Robotics
Belajar hidup bersama robot
Ketika mesin menjadi teman berinteraksi, maka saat itulah kita perlu mempelajari kembali makna sosialitas. Tulisan berikut ini disarikan dari wawancara dengan Johanna Seibt, seorang ahli filsafat dari Universitas Aarhus. Saat ini, Johanna tengah mengembangkan bidang penelitian baru bernama “robophilosophy” dan telah mengadakan konferensi dua tahunan yang pertama tentang topik ini yang terlaksana secara daring pada 18 hingga 21 Agustus 2020.
Apa yang perlu kita antisipasi pada masa ketika robot mulai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia?
Selama sekitar dua puluh tahun terakhir, ada sebuah cabang penelitian baru di bidang robotika yang sedang berkembang, yaitu robotika sosial. Robot “sosial” berbeda dari robot industri karena robot “sosial” dibuat dan diprogram sedemikian rupa sehingga memberikan kesan seolah-olah dia mampu menjadi teman kita dalam berinteraksi sosial. Ada tampilan, pola gerakan, kemampuan berbahasa, dan fungsi interaktif lainnya yang menciptakan kesan ini pada robot.
Yang menarik adalah, dulu, gagasan awal untuk membuat robot yang punya “kecerdasan sosial” adalah gagasan yang murni berupa teori. Namun, penerapan gagasan ini secara praktis berkembang dengan cepat. Robot yang dapat kita ajak berinteraksi “seperti manusia”— sebagaimana deskripsi Cynthia Breazeal pada tahun 2002 tentang “mimpi” robotika sosial—membuka ruang kemungkinan untuk menggantikan manusia, atau minimal kegiatan manusia dalam konteks pekerjaan yang dapat dilakukan.
Mimpi untuk menciptakan robotika “sosial” makin dekat dengan kenyataan seiring dengan perkembangan di dunia kecerdasan buatan (AI), khususnya pengenalan emosi dan pemrosesan kemampuan wicara. Pemikiran tentang penggunaan robot secara praktis, yaitu untuk perawatan lansia, di bidang pendidikan, dan penyediaan layanan publik tertentu juga muncul di kalangan pembuat kebijakan. Di Jepang, pengembangan robotika sosial jelas tidak lepas dari kondisi masyarakatnya yang menua, yang mengakibatkan berkurangnya ketersediaan tenaga terampil. Pembahasan lebih lengkap tentang hal ini ada di buku Jennifer Robertson berjudul Robot Sapiens Japanicus (2018).
Berbeda dari robot industri, robot “sosial” dibuat dan diprogram sedemikian rupa sehingga memberikan kesan robot sebagai teman berinteraksi. Penampilan, pola gerakan, reaksi linguistik, dan fungsinya yang interaktif menciptakan kesan demikian.
Johanna Seibt
Di masyarakat umum, diskusi tentang penggunaan software AI umumnya berpusat pada kemampuan dan bahayanya. Namun, begitu software ini bisa diberikan wujud fisik, maka muncul pula dimensi-dimensi baru pemanfaatan AI dalam kegiatan manusia—ada yang positif, ada juga yang negatif. Jargon ‘industri 4.0’ itu sebetulnya menutupi dimensi politik dari “era otomatisasi” (McKinsey, 2017, A Future that Works), era di mana potensi otomatisasi dihitung untuk setiap aktivitas. Untuk saat ini, aktivitas manusia yang sarat dengan elemen interaksi sosial terhitung memiliki “potensi otomatisasi” yang rendah. Namun, makin robotika sosial berkembang, potensi otomatisasi dari aktivitas sosial akan makin meningkat.
Pandemi COVID19 juga membuka wawasan baru tentang penggunaan robot “sosial”, khususnya di bidang telekomunikasi. Pandemi menyadarkan kita bahwa otak manusia sangat perlu bisa melihat teman interaksinya secara fisik dalam wujud tiga dimensi. Komunikasi atau penyampaian informasi secara sederhana mungkin bisa dilakukan melalui Skype atau Zoom; tapi, dari pengalaman saya sendiri, mengambil keputusan atau melakukan pekerjaan kreatif bersama orang lain jauh lebih sulit dilakukan secara jarak jauh. Nah, robot komunikasi yang memungkinkan kita tetap melihat semacam “wujud” fisik dari lawan bicara bisa jadi menawarkan versi baru dari “telepresence”.
Tadi ada kata-kata “mimpi” dan “revolusi robot”. Mungkin, robotika “sosial” ini gagasan yang utopis?
Saya sangat berharap kita bisa mencegah pemanfaatan robot “sosial” oleh pasar; sebaliknya, robot sosial perlu dihadirkan dan diregulasi sebagai langkah politik dan melalui wacana publik, yang sah secara demokratis, tentang nilai-nilai. Namun, untuk itu, dibutuhkan struktur riset multidisiplin yang baru serta pelatihan dan pengembangan SDM profesional untuk memastikan diskusi tentang nilai-nilai sosial pemanfatan robot tidak akan berisi seruan yang menakut-nakuti, atau justru utopia teknologi belaka, melainkan tetap berangkat dari ilmu pengetahuan. Di dunia politik, dan di beberapa negara Eropa, sedang berjalan upaya inovasi yang berbasis teknologi di satu sisi dan di sisi lain kritik terhadap disiplin humaniora. Maksudnya, ilmu-ilmu budaya dianggap tidak penting secara sosial sehingga kurang layak mendapatkan dukungan. Padahal, jika kita ingin robotika “sosial” berhasil sebagai langkah politik, maka bidang ini harus dikembangkan bersama dengan keahlian di bidang kebudayaan. Singkatnya, ilmu-ilmu budaya dan sosial saat ini amat penting perannya. Makin banyak bentuk teknologi yang berperan sebagai agen sosial, yang memasuki ruang fisik dan simbolik dari interaksi manusia, makin besar juga kebutuhan terhadap keahlian di bidang sosial dan budaya dalam mendesain aplikasi teknologi yang berhasil. Keahlian ini tidak dimiliki oleh pekerja di bidang teknik.
Pada kenyataannya, robotika “sosial” sangat kompleks dan memunculkan pelbagai pertanyaan mendasar tentang masyarakat dan nilai-nilai kita. Pertanyaannya pun belum dapat dirumuskan, apalagi dijawab.
Johanna Seibt
Supaya lebih jelas, saya kembali ke “mimpi” tentang kehadiran robot “sosial”. Apa yang sebetulnya kita impikan? Sejak dulu pun, manusia sudah punya angan-angan tentang kehadiran asisten berwujud mesin. Mimpi ini ada, baik di imajinasi kebudayaan barat maupun timur, dari masa lampau hingga sekarang. Kita mengimpikan punya tenaga pembantu yang tidak pernah capek, tidak bisa hancur, bahkan punya kemampuan atau keterampilan super yang melebihi manusia. Beberapa contohnya sudah ada di Hollywood, misalnya R2D2 atau C3PO di film Star Wars, atau TARS di film Interstellar, robot yang punya selera humor. Contoh-contoh ini adalah versi modern dari mimpi yang sudah ada sejak masa lampau, yang mungkin dianggap kekanak-kanakan dari sudut pandang psikologis. Tentunya, lamanya mimpi bertahan bukan jaminan mimpi itu bisa direalisasikan secara politis. Mimpi kan tidak konsisten dan, yang terpenting, mimpi adalah sesuatu yang belum selesai. Pada kenyataannya, robotika “sosial” sangat kompleks. Topik ini memancing pertanyaan mendasar tentang manusia dan nilai-nilai kita. Pertanyaannya saja belum bisa dirumuskan, apalagi dijawab.
Penataan relasi sosial manusia di masa depan sebaiknya tidak diserahkan (hanya) kepada imajinasi kultural para ahli robotika muda, yang pastinya punya niat baik. Penelitian tentang interaksi manusia dengan robot sosial juga sudah banyak, namun saat ini kita belum bisa menilai konsekuensi psikologis, sosiologis, dan politis dari pemanfaatan robot sosial secara luas. Masih jauh. Dengan melibatkan keahlian dari bidang humaniora, kita dapat mengembangkan robotika sosial yang akan langgeng secara budaya sekaligus bisa diimplementasikan dari sudut pandang politik.
“Human-Robot Interaction Research” sudah beredar selama sekitar satu setengah dasawarsa. Apa saja kemajuan yang sudah dicapai dalam hal aplikasi praktis dari temuan-temuan penelitian?
Seharusnya sekarang sudah jelas bahwa kalau kita ingin mengintervensi realitas sosial dengan menghadirkan suatu entitas yang bersifat kuasi sosial, maka kita perlu memanfaatkan pengetahuan dari semua disiplin ilmu yang terkait. Namun, pengembangan robotika “sosial” dan HRI tadi, atau Human Robot Interaction Research, sampai sekarang masih mengandalkan ilmu robotika, psikologi, dengan desain penelitian yang tidak sepenuhnya mampu menangkap realitas sosial budaya manusia yang amat kompleks.
Bidang antropologi dan filsafat punya potensi luar biasa untuk berkontribusi terhadap analisis praktik-praktik sosial baru, dan yang mencengangkan potensi ini justru tidak dianggap serius. Sebaliknya, banyak ahli antropologi dan filsafat juga tidak sadar bahwa bidang robotika “sosial” memunculkan tugas besar yang perlu ikut dijawab oleh bidang ilmu humaniora. G. Verruggio pernah menyerukan perumusan “robo-ethics” pada tahun 2004; di Aarhus, saya dan beberapa kolega membentuk bidang baru pada tahun 2014, yang diberikan nama “robophilosophy” karena pertanyaan-pertanyaan seputar robotika “sosial” jauh melampaui permasalahan etika dan menghadirkan permasalahan teoretis yang mendalam. The Robophilosophy Conference Series, yang saya dirikan dan laksanakan bersama kolega saya, Marco Nørskov, telah menjadi ajang terbesar untuk penelitian humaniora di bidang dan tentang robotika sosial. Saat ini, kami sedang menyiapkan konferensi yang keempat dalam seri Robophilosophy 2020: A Culturally Sustainable Robotics (18-21 Agustus 2020), yang akan digelar secara daring. Pesan-pesan yang kami usung mulai didengar. Dalam rekomendasi Denmark untuk pendanaan penelitian di Uni Eropa di bidang teknologi robotika, dimensi budaya disebutkan secara eksplisit. Di Jerman, mulai terbangun pemahaman bahwa penerapan robotika yang bisa berkelanjutan secara budaya hanya dapat dicapai melalui keterlibatan tim lintas disiplin ilmu, dan ahli humaniora jelas bisa memainkan peran penting sejak awal.
Apa saja pertanyaan yang dihadirkan oleh robotika “sosial”, ada contohnya?
Coba bayangkan, McDonalds menghadirkan robot di semua gerainya dan robot-robot ini tampil seperti perempuan yang berparas menarik. Apa ini artinya secara budaya, sosial, dan politik? Kalau kita menggunakan robot yang bisa menggendong di panti lansia, dan bentuknya seperti teddy bear, sinyal apa yang sebenarnya sedang kita sampaikan kepada para penghuni panti dan keluarganya? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini dengan baik, kita butuh istilah-istilah analitis, metode etika, dan kepakaran di bidang budaya—ketiganya saat ini belum menjadi bagian yang kokoh dari robotika sosial dan bidang-bidang ilmu yang menopangnya.
Pertimbangan etika dalam robotika sudah sejak lama memperhatikan efek dari sinyal sosial-politik yang diakibatkan oleh keputusan desain. Namun, masih ada masalah lain yang lebih mendasar. Robot sosial dengan ciri tertentu akan memicu suatu mekanisme kognisi sosial yang dimiliki manusia di alam pra-sadarnya. “Otak sosial” manusia membuat kita cenderung mengenali, dan salah mengerti, robot dengan tampilan dan pola gerakan tertentu sebagai sesama makhluk hidup—bahkan makhluk moral. Kita menganggap robot seperti itu punya kesadaran dalam bertindak, perasaan, bahkan hak, termasuk untuk robot yang kelihatannya tetap seperti mesin. Awalnya, robotika sosial ingin memanfaatkan kecenderungan ini. Seiring waktu, kita sudah lebih berhati-hati. Manusia nyatanya dengan mudah mengajak robot masuk ke dalam lingkaran sosial sebagai salah satu agen di dalamnya, bahkan memandang robot sebagai makhluk moral, berempati terhadap robot, sampai merasakan keterikatan dengan robot—ini semua memunculkan pertanyaan mendasar yang tidak hanya soal etika, melainkan permasalahan pendefinisian. Robot sosial bukan lagi alat, tetapi sudah menjadi sesuatu yang belum punya kategori sosial.
Karena “benak sosial” manusia, kita cenderung menganggap dan keliru mengartikan robot—dengan tampilan dan pola gerakan tertentu—sebagai sesama makhluk, bahkan makhluk bermoral.
Johanna Seibt
Karena kognisi sosial tersebut, kita pun memberikan deskripsi yang keliru untuk robot, walaupun sekaligus tidak sepenuhnya keliru. Robot tidak “mengenali”, “menjawab”, “melihat”, “bertanya”, “mengambil”, dan “memilih” apa-apa karena semua kapasitas ini membutuhkan suatu alam sadar dan kemampuan kognitif yang sejauh ini kita anggap hanya ada pada diri manusia. Artinya, kata-kata itu tidak benar. Sebab, kalau benar, maka pemaknaan aktivitas sosial manusia harus dipersempit juga menjadi hanya pemaknaan terhadap perilaku yang bisa dilihat. Kalimat, “robot itu mengenali saya” hanya tepat kalau kita mengartikan “mengenali” sebagai wujud perilaku tertentu. Interpretasi sempit terhadap aksi sosial seperti ini sering kita gunakan untuk hewan. Kita biasa berkata, “anjing itu mengenali dan menyapa pemiliknya”. Yang disebut “mengenali” dan “menyapa” dalam konteks ini jelas berbeda dan sebatas metafora, bukan aksi sosial sepenuhnya seperti antarmanusia, karena anjing kan tidak bisa bilang, “Pemilikku sudah pulang, selamat datang!”
Di sisi lain, dalam hal robot “sosial”, yang perlu kita renungkan adalah bagaimana kita ingin memandang fenomena ini ke depannya secara konseptual dan normatif. Kalau sekarang kata “sosial” diberikan tanda kutip, perlukah tanda kutip itu dihapus? Dengan kata lain, apakah kita perlu menghilangkan konsep yang sudah kita kenal tentang aksi sosial, kemudian menerima semua hal yang berperilaku mengikuti pola tertentu sebagai agen sosial? Kalau hewan punya hak, mengapa robot tidak? Atau, mungkin kita pertahankan saja pengertian yang sudah ada tentang konsep “sosial” dan kita tegaskan bahwa agen sosial, yang punya hak, hanyalah agen yang mengalami dan dapat menceritakan fenomenologi kesadaran?
Di sini, kita memasuki pertanyaan-pertanyaan filsafat teoretis, yaitu filsafat pikiran, dan ontologi serta filsafat politik. Masyarakat demokratis di barat melegitimasi kewenangan politik menggunakan istilah yang menggambarkan konsep diri, person, dan istilah itu berasal dari era Pencerahan. Robotika “sosial” kini mempertanyakan konsep person yang punya kaitan erat dengan kapasitas yang ada dalam subjektivitas sosial manusia. Pada bulan Mei 2016, Parlemen Eropa mengusulkan agar robot canggih diberikan status sebagai electronic persons. Respons terhadap usulan ini menunjukkan betapa pemikiran politis kita terguncang ketika hal-hal yang kita anggap bagian dari satu sama lain—orang (person), subjek sosial, nalar, kecerdasan, perasaan—tiba-tiba dibongkar.
Banyak yang berkata robot akan mengambil pekerjaan manusia. Tanggapannya?
Itu yang disebut dengan dimensi sosio-politik dari robotika “sosial” yang saya singgung di awal. Kalau kita mengikuti prinsip-prinsip pengembangan aplikasi robotika “sosial” yang bertanggung jawab dan berkelanjutan secara budaya, menurut saya kita malah akan melihat fenomena yang sebaliknya, yaitu munculnya jenis pekerjaan baru dan perhatian terhadap kerja sama dengan robot “sosial”. Tentu akan penting untuk mempelajari bentuk kerja sama seperti apa yang bisa dilakukan dan yang memberikan manfaat. Perlu dipertimbangkan antara hanya koordinasi atau kerja sama atau teamwork. Bentuk itu akan bergantung juga pada cara kita mendefinisikan hal baru ini dalam lingkungan yang interaktif, karena sebetulnya—dan ini paradoksnya—robot (pekerja) tidak bisa “bekerja” dalam arti yang sebenarnya.
Jenis-jenis pekerjaan baru akan muncul, dan fokus kita kelak adalah bekerja sama dengan robot.
Johanna Seibt
Kepakaran di bidang filsafat juga akan makin dicari, khususnya jika politikus menginginkan model robotika sosial integratif, atau model lainnya dari “robotika yang bertanggung jawab”. Perusahaan-perusahaan AI seperti Deep Mind sekarang sudah mulai mencari ahli etika. Namun—dan ini yang kami sampaikan juga dalam definisi robophilosophy sebagai bidang baru, yaitu sebagai filsafat tentang, untuk, dan oleh robotika sosial—robotika “sosial” memungkinkan filsafat memiliki bentuk-bentuk baru. Para ahli robophilosophy bisa mengusulkan solusi teknis untuk masalah etika, kemudian mempelajari solusi ini dalam penelitian eksperimental. Di Aarhus, contohnya, kami sedang meneliti kemungkinan mengatasi ketidakdilan sosial dalam wawancara kerja akibat bias gender atau ras—atau prasangka lain yang dapat timbul karena penampilan pelamar kerja—dengan menggunakan robot telekomunikasi dengan tampilan netral sebagai pewawancara.
Kita banyak mendengar soal fenomena bot di bidang komunikasi politik. Apa itu artinya kalau dibandingkan dengan model robotika sosial?
Bedanya jauh sekali. Model yang kami punya, ISR (Integrative Social Robotics), mengusung pengembangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan secara budaya dari aplikasi fisik robot “sosial”. Proses yang kami jalankan transparan, berangkat dari nilai yang jelas, dan partisipatif; kami melibatkan kepakaran dari semua bidang yang terkait, secara khusus di bidang kebudayaan yang menjadi sumbangsih ilmu-ilmu humaniora. Bot yang berasal dari software dan yang saat ini merusak proses politik kita, mulai dari komunikasi politik sampai kecurangan pemilu, adalah sebaliknya— sifatnya tertutup dan manipulatif, serta dimotivasi hanya oleh kepentingan untuk meraih kekuasaan.
Di samping masalah keamanan politik yang diciptakan profiling otomatis, ada pula program AI yang dibangun dengan learning algorithm. Saya merasa kita masih meremehkan betapa AI seperti ini bisa melemahkan proses yang saat ini kita punya untuk pengambilan keputusan di bidang politik dan hukum. Sampai sekarang, pengambilan keputusan untuk kedua bidang ini masih berbasis norma etis, dan norma etis terbentuk melalui rangkaian praktik normatif, misalnya diskursus di antara pakar. Namun, kita mulai menggantikan “ekuilibrium reflektif dari diskursus pakar” itu dengan pembentukan norma yang bersifat otomatis, yang berangkat dari intuisi etis sekelompok orang, bukan pakar, yang barangkali bahkan tidak bisa dianggap representatif. Saat ini, pertanyaan yang kita hadapi adalah, sejauh mana—pada tataran praktis dan teoretis—kita dapat meninggalkan penalaran dan proses diskursus manusia yang sudah begitu lama kita gunakan untuk mencapai keputusan yang rasional.
Wawancara dilakukan oleh Stefan Heidenreich (carta.info) melalui surel.